Download App
Google
Apple
small-logo
Iyut Raihana

Selamat Tinggal Pohon Kelor

Karena Hidup Selucu Itu
13 Likes
2023
Halo, Wiope. Kali ini, aku ingin bercerita mengenai kejadian beberapa hari lalu. Aku tidak tahu apakah ceritaku ini terbilang lucu atau tidak. Tapi menurutku, cerita ini sangat lucu dan aku mau membaginya kepada kalian. Semoga kalian suka, ya. Saat itu, jam di layar HP-ku menunjukkan angka 16:24. Aku sedang melipat pakaian di dalam kamar anakku. Saat asyik melipat, aku melihat sosok suamiku yang sedang berjalan melewati pintu kamar sambil memegang golok. Melihat hal tersebut, aku spontan bertanya, "Kau mau ba apa?" (Kamu mau ngapain?). "Mau pangkas pohon kelor," jawab suami sambil tetap berjalan. Dari suaranya, aku bisa tahu jika saat ini suamiku sudah berada di luar rumah. Aku pun berteriak dari dalam kamar, "Pangkas bagian atasnya saja." "Apa?" tanya suami dengan berteriak. "Pangkas bagian atasnya saja. Tidak usah bawahnya," teriakku lagi. "Iya," sahut suami. Setelah percakapan singkat itu, aku melanjutkan aktifitasku sembari ditemani anakku yang sibuk menghamburkan permainan di dalam kamar. Sesekali aku menegurnya—sebab memasukkan permainan ke dalam mulutnya—dan terkadang hanya bisa menghela napas melihat tingkahnya. Karena aku berada di dalam kamar anakku, aku jadi bisa mendengar suara golok saat menebas batang kelor. Dalam hati aku berharap, pohon kelorku akan tumbuh semakin rimbun karena sering dipangkas. Singkat cerita, aku sudah selesai melipat pakaian dan suami sudah selesai memangkas pohon kelor. Aku juga menyuruhnya untuk sekalian membakar sampah di halaman belakang. Untungnya, suamiku melakukan perintahku tanpa banyak mengeluh (namun aku tidak tahu isi hatinya). Sebab jam sudah menunjukkan angka 17:30, aku bergerak cepat untuk memandikan anakku. Hari ini, dia agak sedikit terlambat mandi sore. Biasanya, anakku dimandikan saat jam 16:30 dan paling lambat jam 17:00. Maklum, papa dan maminya sedang sibuk. Setelah anakku selesai mandi dan pakai baju, aku menitipkannya kepada suami karena aku juga mau mandi. Selesai mandi dan pakai baju, aku bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah salat Magrib. Salat Magrib-ku agak terburu-buru, karena anakku menangis. Kudengar suamiku berusaha membujuknya, namun tidak mempan. Bocah itu justru berlarian-larian di depanku. Sungguh, aku menjadi sedikit tidak fokus karena tingkahnya. Ketika selesai salat, aku memeluk anakku dan mencoba mengajaknya berbicara. Karena masih kurang manjur, aku pun menyusuinya. Dia pun menyusui dengan lahap. Mungkin, dia memang sangat haus. Setelah puas, anakku menarik tanganku. Aku pun mengikuti langkah kecilnya yang membawaku menuju meja makan. Ternyata, dia minta makan. Aku melepaskan genggaman tangannya kemudian melangkah ke rak piring untuk mengambil piring lalu kembali melangkah ke meja makan untuk mengambil nasi dan lauk. Kusuruh anakku untuk duduk. Setelah duduk, aku mulai menyuapinya dan dia makan dengan lahap. Namun saat sedang menyuapi anakku, suamiku tiba-tiba memanggil namaku. "Kenapa?" tanyaku. "Ke rumahnya Bom-bom kita habis ini," jawabnya. Bom-bom adalah panggilan kesayangan suami kepada kakak perempuannya. "Oh, iya," ucapku singkat. Selesai makan, aku mulai bersiap; memakai rok, jaket, dan jilbab. Sedangkan anakku kupakaikan jaket, kaos kaki, sepatu, dan topi kupluk. Suamiku anti ribet. Dia hanya menggunakan jaket di luar baju kausnya. Namun begitu aku keluar dari rumah, mataku langsung tertuju ke arah pohon kelor yang memang sengaja ditanam di halaman depan. Pohon kelor itu tumbuh dengan subur. Tak jarang banyak tetangga yang meminta izin untuk memetik daunnya sebab ingin diolah menjadi sayur. Akan tetapi, pohon kelor yang tumbuh subur itu kini hanya tersisa batangnya saja; tingginya pun hampir sama dengan anakku—tujuh puluh delapan sentimeter. "Yang?" panggilku pada suami. Kebetulan dia masih berada di dalam rumah karena sibuk mencari tas ranselnya. "Apa?" tanyanya. "Kenapa kelorku sisa batangnya saja ini? Mana daun-daunnya?" Aku bertanya dengan sedikit histeris. "Eh? Kan, kau bilang dipangkas sama atasnya juga. Jadi saya pangkas semua," jawabnya dengan ringan. Dia pun memunculkan wajahnya yang terlihat bingung. "Astaghfirullahaladzim. Saya bilang pangkas atasnya saja," tegasku sembari menghela napas. "Tidak. Tadi kau bilang pangkas sama atasnya," jawab suami tidak kalah tegas. "Allahu Akbar. Kapan saya bilang begitu? Saya bilang pangkas bagian atasnya saja. Karena bagian bawahnya itu baru tumbuh semua." Di titik ini, aku serasa ingin menelannya hidup-hidup. Apalagi dia masih bersikeras dengan perkataannya. "Sumpah! Tadi kau bilang pangkas dengan atasnya," ucapnya lagi. "Aih, salah dengar kau. Saya bilang pangkas atasnya saja. Tidak ada saya bilang pangkas semuanya." Aku masih bersikeras dengan pendirianku. Sebab aku benar-benar yakin tidak mengatakan perintah yang salah. Suamiku tertawa. Dia mengangkat tangannya dan membentuk dua jarinya seperti huruf v. "Sumpah, kasian. Tidak bohong saya. Tadi kau bilang pangkas dengan atasnya. Makanya saya pangkas semua." Melihatnya tertawa, aku ikut tertawa. Meskipun sebenarnya masih merasa jengkel. "Is, korek telingamu itu. Banyak tainya itu makanya tidak bagus mendengar," ujarku. "Ih, malas," sahutnya. Aku akhirnya menghela napas. "Baru bagaimana kalau saya mau makan sayur kelor?" tanyaku dengan lemah. "Nanti beli saja. Cuman lima ribu juga." Lagi-lagi dia menjawab dengan ringan. Dan, aku hanya bisa mengelus dada sambil menghela napas berkali-kali. Aku kembali menatap batang kelorku. Ada sesak yang kurasakan di dalam dadaku. Pasalnya, aku sangat menyukai sayur kelor dan sangat sering membuatnya. Namun jika sudah begini, bagaimana lagi aku akan membuatnya? Aku merasa sangat sayang mengeluarkan uang lima ribu untuk membeli semangkuk sayur kelor. Jika dibuat sendiri, kan, aku bisa makan sepuasnya. Dua mangkuk pun bisa. Tapi sekarang? Ah ... sudahlah. Kalau diingat-ingat justru membuatku sakit hati. Ingin rasanya aku mengumpat dan meremas wajah tidak berdosa milik suamiku. Tapi aku ingat kalau aku masih membutuhkannya. Pada akhirnya, aku naik di motor dalam keadaan lemas. Walaupun di sepanjang perjalanan, aku masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk mengungkit pohon kelorku. Dan seperti yang sudah kalian duga, suamiku tetap tegas dengan pendapatnya. Dia pun terus-terusan menyuruhku untuk membeli sayur kelor masak yang dihargai lima ribu per mangkuk. Tapi ketahuilah bapak-bapak, uang lima ribu itu sangat berharga bagi kaum ibu-ibu. Kalau ada yang gratis—pohon kelor milik sendiri, kenapa harus beli di luar? Terkadang, aku tak habis pikir dengan cara berpikir bapak-bapak. Mereka terlihat sangat menyepelekan uang lima ribu. Padahal, uang lima ribu itu sangat berharga, loh—membeli satu papan tempe misalnya. Tapi .... Ya, sudah. Selamat tinggal pohon kelor. Semoga kamu cepat tumbuh, ya. Sebab keberadaanmu sangat dibutuhkan, baik olehku maupun para tetanggaku. Hahaha.